Senin, 12 Agustus 2013

Tidak Ada Pendidik yang Gagal

teringat kata-kata seorang senior:
"di dunia ini,,tidak ada pendidik yang gagal.. Yang mungkin terjadi adalah pendidik yang belum menemukan seni mengajar yang pas..."

Ya, itu pula lah yang saya yakini selama ini. Mendidik bukanlah perkara mudah. Diperlukan kesabaran, waktu, pengorbanan, dan kerja keras untuk mencapai hasil yang sesuai dengan harapan. Jika kita memperoleh hasil yang sangat jauh dari yang diinginkan, maka janganlah cepat mengambil kesimpulan bahwa kita telah GAGAL dalam menjalankan tugas. Justru kita harus bersyukur, karena ALLAH telah memberikan kita kesempatan untuk dapat mengembangkan kreasi dan pikiran kita.

Ketika kita dihadapkan terhadap suatu masalah, kita harus berpikir, cara dan metode apa lagi yang harus diterapkan? Media apa lagi yang harus dipergunakan? Pendekatan seperti apa lagi yang harus dicanangkan???

Jika metode A dirasa kurang memberikan hasil yang memuaskan, coba ganti dengan metode B. Jika metode B juga kurang memberikan hasil yang maksimal, coba ganti dengan metode C, dan begitu seterusnya. Dengan cara seperti itu, insyaallah kreativitas dan pemikiran kita akan jauh lebih berkembang dari sebelumnya.

Putus asa adalah kata yang harus DICORET dan DIHAPUSKAN dari kamus seorang pendidik. Semangat adalah kata yang harus DICANTUMKAN dan DI-BOLD dari kamus seorang pendidik. SEMANGAT adalah bahan bakar utama dari pendidik. ISTIQOMAH adalah mesin yang dapat mengantarkan kita menuju gerbang kesuksesan.

Mungkin, salah satu dari Anda yang membaca tulisan saya ada berujar seperti ini:
"secara teoritis mudah untuk dijabarkan. Tapi secara aplikasi, apakah bisa diterapkan? Apalagi jika dituntut untuk mendidik sekelompok anak-anak yang sulit diatur, dengan jumlah yang banyak, dan waktu yang relatif singkat...."

Secara tegas dan gamblang saya jawab pertanyaan itu dengan hanya satu kata:
"Bisaaaaaaaaa!!!!!"

Saya berbicara disini tidak hanya berdasarkan asumsi dan opini pribadi, tetapi berlandaskan pengalaman dan realita yang terjadi di lingkungan sekitar saya. Salah satu bukti nyatanya adalah Ramadhan yang baru saja berlalu beberapa hari yang lalu.

Saat bulan Ramadhan, saya dan rekan-rekan sejawat mengadakan sanlat di beberapa sekolah. Ada satu peristiwa yang paling berkesan untuk saya di sanlat ini. Ini cerita inspiratif dari salah satu adik saya yang mengagumkan.

Teman saya, yang saya sebut saja Mr. X, mendapatkan tugas untuk menjadi salah satu binkel di sebuah sekolah. Dia mendapatkan kelas XI yang notabene sangat sulit untuk diatur dan susah untuk diajak serius. Hari pertama masih hari penjajakan. Meski banyak hal yang dijadikan lelucon oleh para peserta, tapi acara masih terbilang lancar. Alias masih on the track. Nah, masalah yang sebenarnya justru terjadi di hari kedua.

Pada hari kedua, di rundown acara terdapat sebuah games yang bernama Lipatan Koran. Deskripsi dari games tersebut adalah sebagai berikut:
setiap kelas akan dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 5-6 orang. setiap kelompok akan diberikan selembar koran. Seluruh anggota kelompok harus bisa masuk ke dalam koran tersebut dan menginjaknya. kemudian, koran tersebut dilipat (tanpa menyentuh tanah) menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Kelompok yang menang adalah kelompok yang mampu bertahan dengan injakan koran yang paling sempit/ kecil.

Nah, di kelas Mr. X sendiri dibagi menjadi 3 kelompok kecil. sebut saja mereka sebagai kelompok A, kelompok B, dan kelompok C. Masing-masing kelompok mendapatkan selembar koran. Kelompok A sudah masuk dan menginjak koran tersebut. Kelompok B, bukannya menginjak koran, mereka malah menyobeknya menjadi sobekan kecil dan dibuang ke area tengah kelas. Koran yang diinjak oleh kelompok A, direbut oleh kelompok B dan kembali dirobek-robek. Kelompok C, mengambil koran yang mereka miliki dan menyobek-nyobeknya seperti yang dilakukan oleh kelompok sebelumnya. Alhasil, games yang sudah direncanakan hancur berantakan!!!!

Selanjutnya, anak-anak mengambil tas mereka masing-masing dan langsung keluar kelas. Lalu mereka bergabung dengan kelas lain dan bermain futsal di lapangan. Padahal, saat itu belum waktunya untuk bubar. Mr. X ditinggal sendirian oleh anak-anak didiknya. Dengan hati yang tersayat-sayat, dia memungut serpihan-serpihan koran yang tercecer dan menggabungkannya menjadi sebuah bola. Dia meratapi gulungan bola koran tersebut dengan perasaan hancur dan sedih. Selain itu, di kelasnya itu sangatlah berantakan dan banyak sampah yang berserakan. Dia kemudian menyapu kelas tersebut, namun bukan dengan sapu. Tetapi dengan menggunakan sebuah alat pel. Mengapa? Jawabannya sederhana: karena tidak ada sapu saat itu.

Semangatnya sempat turun saat itu. Saya berusaha untuk terus menyemangati dia. Hari berikutnya, dia mencoba melakukan pendekatan yang berbeda dengan anak-anak. Hasilnya???
Subhanallah,, anak-anak didiknya berubah 180 derajat. Mereka menjadi sangat penurut dan kooperatif. Mereka juga menjadi lebih dekat dengan Mr.X...

Itu hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah yang terjadi di bulan Ramadhan. Pelaksanaan sanlat kemarin bagi saya merupakan sebuah simulasi mahal tentang penyikapan diri terhadap masalah yang terjadi di dunia nyata ini.

Saya yakin, setiap anak pasti memiliki potensi yang sangat besar. Tinggal kita sebagai seorang pendidik, harus mau dan berpikir untuk mengolah potensi besar tersebut.

Sekali lagi saya tegaskan, tidak ada satu pun pendidik yang gagal di dunia ini. Yang ada hanyalah pendidik yang belum menemukan metode yang pas untuk mengajar.

Hayoo semuanya,,,SEMANGAAAAAAAAAAAAAAAT!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!