Selasa, 06 Maret 2012

Pentagon: Hanya Ada Satu Nama



    “ Ada yang megang resep nomor HA 200 tak?” teriak Teh Nana lantang.

    “ Resep nomor  HA 200  masih ngantri buat diracik. Masih dalam proses!!!” jawab Dena di meja racik.

    Dena dan kelima asisten apoteker di ruang racik sangat kewalahan. Resep racikan menumpuk. Semuanya minta untuk disegerakan. Pasien sudah banyak yang mengamuk di bagian penyerahan. Maklum, mereka memang menunggu cukup lama. Ada yang menunggu sampai satu jam, dua jam, bahkan tiga jam!

    Dengan cermat dia membaca resep dokter yang semrawut itu. Resep tersebut dari poli paru. Di resep tersebut tertulis dengan jelas:

R/    Salbutamol 2 mg
    Methyl prednisolon 4 mg
    Bronsolvan tab 1
    Glyceril Guaiakolat 200 mg
        S 2dd1
            da in cap no. XX

 Salbutamol 2 mg sebanyak 30 tablet, dia keluarkan dari bungkusnya. Dan dimasukkan ke dalam blender obat seraya menghitung jumlahnya. Setelah itu barulah giliran Methyl Prednisolon 4 mg, Bronsolvan tablet, dan Glyseril guaiakolat yang dimasukkan. Lalu dia memblendernya hingga halus dan homogen.
    Setelah itu, serbuk obat tersebut dia bagi menjadi dua bagian dan disetarakan. Barulah dia mulai memasukkannya ke dalam kapsul nomor 00, kapsul kosong yang terbesar. Tapi, kapsul tersebut habis! Dia mencari kapsul tersebut di laci-laci. Tapi tetap saja tidak ada.

    “ Kapsul 00 habis? Adakah yang sudah menelepon gudang?” tanya Dena kesal.

    “ Sepertinya belum, Den..” jawab Nuri yang masih sibuk dengan racikan Fluimucyl-nya. Denna langsung melepaskan maskernya dan menelepon gudang farmasi.

    “ Assalamu’alaikum. Gudang Farmasi IHC, dengan Novi. Ada yang bisa dibantu?”

    “ Wa’alaikum sallam. Ada banget, Vi. Ini  Dena dari Hall Askes. Minta kapsul kosong nomor 00, dong. Disini abis banget!”

    “ Kapsul kosong nomor 00 satu pack ke hall. Ada lagi, Den?”

    “ Bentar, Vi. Rekan-rekan ada permintaan mutasi ke gudang tak?”

    “ Ada. Banyak..!!!” teriak yang lain.

    “ Depakene sirup Askes, Farmabes Askes, Cedocard Retard, sama Plavix Askes!!!” jawab Teh Yetti sambil mengemas obat.

    “ Orang hall, ada yang mau nitip tak?”
    “ Ada, Den. Kenacort tablet minta 300, ya. Sama Seretide Discus 250 dua aja!” jawab petugas hall.

    “ Vi, catet. Depakene sirup Askes, Farmabes Askes, Cedocard Retard, Plavix Askes, Kenakort tablet, sama Seretide Discus 250 minta dua katanya..”

    “ Depakene sirup lima, Farmabes lima ratus tablet, Cedocard Retard lima puluh, Kenakort tablet empat ratus, Seretide Discus 250 dua. Tapi Plavix Askes cuma ada dua puluh delapan tablet. Gimana? Mau diambil?”

    “ Teh, Plavix Askesnya cuma dua strip. Gimana?”

    “ Gak ada lagi, ya? Ya udah, ambil aja. Paling resep yang lain kita utangin dulu..” jawab Teh Rosa yang sedang pusing dengan verifikasi Askes.

    “ Hajar, Vi. Plavix Askes dua strip. Dena ambil sekarang, ya. Jazakillah, ya, Vi. Wassalamua’laikum..”

    “ Ok, Den. Waalaikumsallam..”

    Dena menyerbu form permintaan obat . Dia langsung menulis semua permintaan mutasi ke gudang, baik dari hall maupun askes. Dia berlari menuju lift obat. Kemudian dia teringat kalau lift tersebut sedang rusak. Dengan sangat terpaksa dia sendiri yang harus berangkat ke gudang untuk mengambilnya.

    “ Ada yang udah ke gudang belum?” Tanya Denna memastikan.

    “ Belum!!!” jawab yang lain serempak.

    “ Ya sudahlah. Dena ke gudang dulu, ya! Oh ya, racikan Dena jangan diapa-apain. Biar Dena yang ngeberesin..”

    “ Sip, deh!!!” jawab Nuri sambil mengacungkan jempolnya.

    “ Den, nitip OBH regular, ya..” kata Ami, salah seorang petugas hall.

    “ Ok.. Dena ke gudang. Assalamualaikum!!!”

    “ Waalaikumsalam…” jawab yang lain serempak.

    Dena berlari menuju gudang. Dengan mengenakan jas lab putih dan hand scoen, serta masker yang masih terkalung di lehernya, ia berlari secepat yang dia bisa. Penampilannya mirip seperti dokter yang bergegas untuk melakukan tindakan.

    “ Buset!!! Banyak banget yang harus Dena bawa..”

    “ Ya situ dan kawan-kawan yang mintanya banyak. Jadi kita-kita juga ngasihnya banyak..” ucap Teh Risma menimpali.

    “ Emang pasiennya banyak banget, ya?”

    “ Wah, Vi. Bukan banyak lagi. Di pendaftaran aja, pasien askes menembus angka 499 pasien!! Belum lagi pasien hall yang nyampe tiga ratusan. Gila banget deh pokoknya..”

    “ Yah, yang tabah ya, Den..” kata Teh Risma.

    “ Hiks.. hiks.. Tapi Dena bawa barangnya pake apa, ya? Banyak banget soalnya. Dua keresek gede, Bo. Berat pula. Ada sirup dan injeksi. Paur..”

    “ Ya udah, pinjem troli gudang aja dulu. Entar tinggal balikin ke sini..” Novi tersenyum. Dia sepertinya mengerti apa yang sedang yang dipikirkan Dena.

    “ Ok, deh. Jazakillah ya, Vi. Assalamualaikum..” Dena menandatangi faktur distribusi farmasi. Kemudian ia meluncur meninggalkan gudang.

    “ Assalamualaikum.. Dena habis dari gudang nih. Bilih ada yang perlu, obat-obat dari gudang ada di troli semua. Ambil aja sendiri..” Dia mengambil kapsul kosong yang dia perlukan dan kembali melanjutkan tugasnya di meja racik. Sedangkan troli milik gudang dia parkir di dekat lemari askes.

    Dena menyelesaikan racikannya dengan sangat cekatan. Satu racikan kapsul paling lama ia kerjakan lima belas menit. Setelah semua tugasnya di meja racik selesai, dia beralih ke bagian penyerahan.

    Dia benar-benar takjub  melihat tumpukan baki obat yang menantinya. Menggunung dan memenuhi meja tunggu. Sedangkan resep-resep yang belum disiapkan tak kalah banyaknya. Beruntunglah, antrian penghargaan dan verif askes sudah sedikit berkurang.

    “ Dena, cepet hubungi Pak Nicky. Bilang kalau kita butuh bantuan segera. Pekerjaan di sini benar-benar tidak terkendalikan..” perintah Teh Rosa kesal.

    Dena segera mengikuti perintah seniornya itu. Dia menelepon Pak Nicky dan melaporkan keadaan di depo. Tak lama berselang, Pak Nicky dan semua apoteker Islamic Hospital Center turun untuk membantu. Tak terkecuali Bu Irma, kepala instalasi farmasi IHC.

    Mereka bahu-membahu menangani keadaan genting ini. Teh Rosa masih sibuk dengan verifikasi Askes yang memusingkan. Teh Yetti, Teh Nana, Bu Elsa memegang kendali di bagian pengemasan. Bu Irma, Teh Riska, dan Bu Tria menangani penghargaan. Nuri dan Fahmi mengurus semua racikan. Dena, Pak Nicky, dan Bu Ina beraksi di bagian penyerahan. Sedangkan sisanya membereskan pengambilan obat.

    Hari itu semuanya benar-benar sibuk. Mereka shock dengan jumlah pasien yang membludak. Terutama Dena. Sudah tiga hari dia lembur Pagi-Siang-Malam, menggantikan petugas yang cuti di UGD. Hari ini dia lembur juga. Lembur awal, menggantikan petugas yang sakit. Yang paling parah, selama “menginap” empat hari tiga malam di IHC, dia hanya sempat tidur selama tiga jam!

    “ Pak Nicky, Dena boleh izin shalat sebentar tak?”

    “ Shalat apa emangnya? Kan belum adzan Magrib..”

    “ He.. he.. Shalat Ashar, Pak..”

    “ Astagfirullahaladzim! Kamu belum shalat Ashar? Ini udah jam 17.30. Ya udah, shalat dulu sana. Penyerahan biar saya yang urus..”

    “ Jazakillah ya, Pak..” Dena tersenyum. Dia langsung mengambil air wudhu dan shalat di sana.

                ****************************


    Bruk!!! Jendela depo ditutup.

    Farmasi Askes IHC akhirnya kembali lengang. Semua pasien sudah pergi. Petugas farmasi askes terkulai lemas. Depo seharusnya tutup jam 16.00. Tapi hari ini dengan sangat terpaksa tutup jam 19.00.  Pak Nicky dan kawan-kawan sudah meninggalkan depo. Yang tersisa di depo askes hanyalah Dena, Teh Rosa, Teh Yetti, dan Nuri.

    Teh Rosa sudah tak sanggup lagi untuk merekap resep askes. Kepalanya benar-benar berat.  Dia memutuskan untuk merampungkan tugasnya besok pagi. Teh Yetti lebih memilih untuk melahap nasi Padang yang sudah dipesannya dari tadi siang.

    Dia enggan  merapikan depo askes yang terlihat amburadul itu. Sampah berserakan, obat-obat tergeletak di meja kemas alias belum disimpan ditempatnya, amprahan belum dibereskan. Dan yang paling membuatnya malas adalah mengarsip faktur dan resep askes.

    Berbeda jauh dengan Dena. Meski tubuhnya sudah sangat lelah, dia masih bersemangat untuk membereskan amprahan. Rekan-rekannya yang lain hanya bisa menonton kegigihannya.

    “ Dena, badan kamu tuh terbuat dari apa sih? Gak capek apa kerja mulu? Istirahat dulu sana!” Teh Yetti menceramahinya sambil menikmati nasi Padang di hadapannya.

    “ Iya, nih. Soal amprahan kan bisa dibereskan besok pagi. Faktur dan resep bisa dioperin ke anak-anak UGD..” kata Nuri sambil berkemas hendak pulang.

    “ Gak apa-apa kok. Dena gak keberatan. Yang penting kerjaan disini beres. Jadi biar entar gak usah repot lagi.”

    “ Huh, dasar workaholic! Ngeyel mulu kalo dibilangin. Kamu tuh terlalu bersemangat kerja. Jadinya dimanfaatin sama atasan. Tiga hari kemarin kamu lembur P-S-M. Nah, tadi kamu P-S. Dasar, getol banget nyari duitnya. Buat dipake apa sih? Jangan-jangan diam-diam kamu ngumpulin buat nikah, ya?” ucap Teh Yetti usil.

    “ Wah, yang bener, Den? Kamu mau nikah ama siapa?” Tanya Nuri penasaran.

    “ Sama Captopril..” Semua tertawa mendengar jawaban Dena.

    “ Captopril apa Captopril? Jangan suka bohong gitu, ah. Bukannya sama apoteker kita yang ganteng itu, ya..?” Teh Rosa menggoda Dena lagi. Dena hanya tersenyum.

    “ Oh, jadi Dena sekarang sama Pak Nicky, toh. Ketahuan, ya. Pantes, apa-apa Dena. Kalau lembur, pasti Dena dulu yang disuruh. Kalau datang ke depo, yang ditanya pasti Dena lagi.. Dena lagi…”

    “ Terus.. ledek terus, Teh Yetti tercinta..” ucap Dena ketus.

    “ Loh, kok marah? Kan Pak Nicky itu masih muda. Pinter, cakep pula. Yang terpenting, masih jomblo. He..he..” ledek Nuri.

    “ Kalau gitu, kenapa gak kamu ambil aja?”

    “ Ah, gak mau. Meski cakep, dia terlalu lembek. Bukan tipeku banget..” Dena tertawa lepas melihat tingkah rekannya itu. Nuri memang anak yang ceplas-ceplos. Sangat polos.

    Pak Nicky memang menjadi idola di IHC. Umurnya masih muda, yakni dua puluh lima tahun. Pintar, religius, tampan, murah senyum, mapan pula. Dia memiliki sebuah apotek di Bandung selatan. Dia baru tiga tahun bekerja di IHC. Dia belum menikah, tapi sudah sangat mandiri.

    Mengenai penampilannya, dia sangat rapi dan perfeksionis. Kulitnya putih bersih, wajahnya mulus dan nampak bersinar. Perawakannya tinggi besar, sangat proposional. Hidungnya mancung. Potongan rambutnya rapi. Dia memiliki lesung pipit di kedua pipinya. Dia memakai kacamata.

     Kalau dilihat secara cermat, Pak  Nicky sangat mirip dengan anggota boyband Super Junior, Shi Won. Makanya, kalau ada pasien ibu-ibu yang mengamuk, beliau lah yang menjinakkannya. Baru melihat wajahnya saja, hati ibu-ibu langsung luluh.

    Tapi pesonanya tak berpengaruh kepada Dena. Dia sudah terlanjur dibutakan oleh pekerjaannya. Bahkan mungkin dia sudah menghambakan diri kepada pekerjaannya. Hatinya benar-benar sudah tertutup, apalagi terhadap lelaki.

    Jadi, meski rekan-rekannya di depo selalu berusaha menjodohkannya dengan siapapun, termasuk Pak Nicky, dia tak bergeming. Di hatinya hanya ada satu nama, IHC.
   








Tidak ada komentar: